Oleh Zulfata, Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM) Tebet, Jakarta Selatan |
OPINI - Percaya atau tidak, proses politik di Indonesia pascakemerdekaan penuh dengan kejanggalan. Kejanggalan ini dapat diintip dengan peristiwa lengsernya beberapa Presiden Republik Indonesia, serta arsitektur politik kolonial terus berlanjut hingga saat ini. Meski telah merdeka, Indonesia masih saja terbelenggu dengan namanya penjajahan akut yang menyusupi sistem dan kultur sosial-politik yang cenderung korup.
Proses politik dari hulu ke hilir yang sedang terjadi hari ini seakan telah memecahkan cermin sejarah politik Indonesia, sehingga wajah negara tampak seperti tak pernah belajar dari sejarahnya sendiri. Untuk itu tak berlebihan rasanya ketika mengatakan Indonesia hari ini bagai keledai yang jatuh di lubang yang sama. Kacaunya penegakan hukum, politik padat modal, pasar gelapnya tatanan ekonomi, kerdilnya kualitas pendidikan, liarnya pelayanan publik, hingga kompromi eksekutif, legislatif, yudikatif yang kemudian mengakibatkan semakin berbahayanya sistem politik Indonesia. Alahasi, penumpukan ketimpangan dari semua lini terus terjadi.
Situasi dan kondisi Indonesia sedemikian tidak boleh dibiarkan, agenda penyelamatan Indonesia dari penguasa-penguasa hipokrit patut terus diperhatikan. Jika gerenasi 1998 telah disebut gagal dalam mencapai tujuan reformasi, bahkan beberapa dari mereka justru menjadi lendmark bagi kekuatan oligarki hari ini. Pada posisi itu, api harapan tak boleh padam walaupun dipaksa dinyalakan pada saat badai petir.
Api harapan tersebut di antaranya adalah terus menggelorakan pendidikan politik di ruang publik bahwa generasi Indonesia jangan sempat terlelap nyenyak oleh iklim demokrasi hari ini yang justru berpotensi kuat untuk melumpuhkan Indonesia dari dalam, bahkan Indonesia telah diprediksikan bubar sebagai akibat dari kelakuan penguasanya sendiri yang terlampau canggih dalam berakrobat.
Dalam konteks ini, lembaga manakah di negeri ini yang paling konsisten dalam memberikan edukasi politik bagi publik? terutama bagi kalangan yang disebut generasi Z dan kemudian generasi alfa? Apakah tanggug jawab edukasi politik tersebut bisa diserahkan seutuhnya kepada partai politik? Atau cukup dipercayakan pada perguruan tinggi negeri dan swasta? Atau setia menunggu hasil perjuangan ormas? Atau berharap akan ada ratu adil era kekinian akan tiba?
Lagi-lagi sikap gotong-royong semua pihak mesti menjadi etos atau kultur untuk menjadikan edukasi politik tidak boleh padam, tidak boleh lapuk di tengah meningkatnya kultur pragmatisme generasi di tanah air. Dengan mencipatakan berbagai siasat dan upaya untuk menjadikan generasi Indonesia yang melek politik senantiasa akan menjadi bagian penguatan kewarasan kekuasaan dalam menuntun laju negara.
Dengan menjadikan generasi yang melek politik akan menggiring kekuatan control menjadi lebih kuat. Berbagai polarisasi terkait semangat berbisnis jauh lebih disukai generasi muda dari pada sekadar melek politik. Polarisasi picik seperti ini mesti dibongkar. Kenyataan hari ini telah memberi tanda-tanda bahwa praktik bisnis dan politik telah menyatu menciptakan ketimpangan-ketimpangan baru. Demikian pula iklim edukasi politik di ruang publik hari ini justru tidak sedang mengarah pada pengutan keadilan dan kemandirian negara, tetapi sedang melaju pada puncak ketergantungan global dan kepicikan birokratis.
Berbagai wadah dalam mencetak regenerasi pemimpin yang kuat hari ini nasibnya sudah diujung tanduk. Potensi hadirnya pemimpin kuat atau kepemimpinan yang merdeka akan lenyap dengan sistem politik yang korup-akut. Parahnya, alih-alih menjadikan generasi melek politik, justru kekuatan pendidikan yang terus berupaya menutup kejanggalan proses politik dari rezim ke rezim di Indonesia justru terus di kaburkan. Berbagai riset pendidikan publik terkait politik justru lebih mengarah pada apresiasi terhadap penguasa, dengan tidak menyebutnya orderan dari penguasa. Lembaga-lembaga yang sejatinya menjadi ujung tombak untuk pencerahan masyarakat, kini telah menjadi bonekanya penguasa.
Kesadaran untuk memicu generasi Indonesia melek politik dalam tulisan ini adalah kesadaran bagi generasi untuk berani menggali semua proses politik di negeri ini, dan kemudian didorong untuk membentuk kesadaran baru untuk terus bergerak membebaskan Indonesia dari sistem politik yang semakin bobrok. Upaya melek politik bagi generasi ini senantiasa bukan setelah melek politik dan kemudian semakin menambah kerusakan bagi Indonesia dari dalam. Menjadikan generasi melek politik diarahkan pada pemupukan kekuatan politik generasi Indonesia yang mampu merancang sistem politik yang tidak menjadikan Indonesia semakin lemah, baik dari pandangan warga negara sendiri maupun di mata negara lain.
Benar bahwa memperkuat pendidikan politik publik terhadap generasi tidak bisa dilakukan dengan paksa, atau tidak bisa diformulasi melalui kurikulum lembaga formal. Tetapi pendidikan politik untuk generasi mesti digiring dan ditumbuhkan di alam terkembang Indonesia. Sebab persoalan politik bukanlah persoalan yang membahas beberapa sisi kehidupan dalam bernegara, melampaui itu juga berbicara menentukan nesib negara dan warga negaranya.
Dengan terus meningkatkan literasi politik, senantiasa generasi Indonesia dapat melek politik, kemudian saling memicu untuk menumbuhkan kekuatan dalam mematikan virus-virus yang ditaburkan oleh penguasa-penguasa hipokrit di negeri ini. Apapun tantangan dan rintangannya, generasi Indonesia hari ini maupun masa yang akan datang mesti memiliki tanggung jawab moral untuk melanjutkan cita-cita kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
Dengan penuh kesadaran dan tanngung jawab dalam merawat dan memperkuat Indonesia dari ancaman sistem politik yang terus-terusan merusak, justru di situ perlu melihat sejauhmana generasi Indonesia dapat menilai sejaumana kekuatan nasionalisme dan patriotiknya. Sehingga bicara cinta tanah air tidak hanya menjadi topeng penuh kepalsuan sembari merusak negara dari dalam demi kesenangan pribadi dan sebagian golongan yang berada di lingkar kekuasaan.
Posting Komentar