Oleh Zulfata, Pendiri Sekolah Kita Menulis (SKM), Tebet, Jakarta Selatan |
OPINI - Menjelajah Jakarta semakin mendalam akan semakin menarik untuk dicermati. Siang dan malam melewati belantara kota, keramaian di gang-gang sempit jadi pemandangan ciri khasnya miskin kota. Rasa sabar tingkat dewa barangkali hanya untuk yang tidak berkuasa dan berharta, penguasa bebas lakukan apa saja, termasuk bersandiwara dalam membangun kota, apakah itu terkiat “kota tua” atau “kota baru”, motif membangunnya mirip-mirip meski tak serupa. Kata pembangunan dijadikan kenderaan untuk mengamankan berbagai kepentingan yang kumudian menjadikan negara sebagai sapi perah, rakyat sebagai mitra yang kemudian terus-terusan untuk dibodohkan serta di miskinkan. Tepatnya, jalan panjang keberengsekan Jakarta mesti terus dibuka.
Tidak semua mampu melihat ada pintu besar di Jakarta, pintu itu melebihi portal langit, melampaui lapisan bumi, setenang rembulan, jauh dari pertebatan yang seharusnya. Nahkoda Jakarta sungguh paham membaca cuaca itu, beradaptasi dengan iklim, sehingga gerkanya tidak mampu dibaca oleh para pembuat skenario cerita bersambung. Banyak aktor yang terlibat di sini, mulai aktor pengusaha, ilmuan, religi, politisi bahkan orang sakit jiwa sekalipun. Rakyat jelata bukan saja sebagai penonton atau tim penyorak yang telah dikemas sedemikian rupa dari jauh-jauh hari, tetapi rakyat jelata juga bagian memperkuat sandirawa itu.
Mengulik-ulik Jakarta, kita akan melihat betapa dangkalnya teori abangan, priyayi dan santri. Demikian juga kita akan merasakan betapa manipulatifnya teori proletar dan borjuis dalam konteks kekinian. Kuasa Jakarta ibarat bunga mawar, satu tangkai tetapi banyak arah dalam mekar, ciptaan Tuhan kemudian diperdagangkan, tak peduli tubuh siapa yang tertusuk duri, tak peduli tanah siapa yang ditanami, tidak peduli siapa yang menanam, yang ada adalah bagaimana berkompromi, bagi sesuai porsi. Yang tak mendapat bagi, hanya dua pilihan tempuh, yaitu kembali berjuang atau mati suri.
Jakarta memang berada di Pulau Jawa, bahkan terkadang Jakarta dianggap sentralistik, tetapi melihat Jakarta ada di mana-mana memang membutuhkan kemampuan yang luar bisa, bukan kekuatan supra natural, bukan meramal, tetapi menyusuri jaringan gerbong di mana pendulum bisnis itu dimainkan. Pemilu, 2024 menjadi dua suku kata untuk merawat Jakarta yang termasuk juga bisnis di dalamnya. Ada tambang di sana, ada perizinan di sana, ada boneka penegakan hukum di sana, skema dagang di sana, ada permainan pasar di sana, ada suara yang mesti disuarakan, ada agenda yang dipaksakan. Kehidupan rakyat menjadi ladang kesengsaraan dengan tidak menyebutnya sebagai tumbal Pemilu.
Apa yang disinggung dalam tulisan ini adalah deskripsi tipis-tipis terkait bisnis Jakarta, bisnis yang dirawat bahkan diabadikan oleh tuan atau para tuan, meski pun ada yang beranggapan masih dirawat atau dianggap sebagai tuhan. Pada posisi ini, terkadang bicara Tuhan hanya di lapisan terluar dari wajah manusia yang hipokrit, di panggung-panggung untuk memobilisasi massa dengan pembiayaan yang mengarah untuk merampok kekayaan negara. Bisnis dicapai penuh dengan intrik dan manipulatif melalui kesepakatan bersama yang sering disebut dengan peraturan yang dibuat oleh wakil rakyat.
Tak banyak melihat posisi wakil rakyat adalah boneka, mesti dipandang berkuasa dan berwibawa oleh pengikutnya. Wakil rakyat dipajang pada etalase ruang bisnis tuan-tuan yang pada waktu tertentu diadu. Seperti ayam jago, masing-masing tuan memiliki ayam jagonya sendiri untuk diadu di medan laga yang kemudian disebut Pemilu. Bahwa wakil rakyat sesekali dijadikan prajurit, bukan pertempuran yang membawa senjata api, melainkan perang untuk mengamankan wilyah-wilayah bisnis tuan atau para tuan. Wakil rakyat dibuat kuat namun mengalami ketergantungan, ketergantungan ini terkadang menjadi pelumas untuk undustri-industri terus mengepul ke langit sebagai tanda kekuasaan semesta.
Tercatat dalam sejarah Indonesia bahwa kekuasaan otoriter secara terpadu di tangan seseorang telah tumbang, dari orde lama ke orde baru. Pada kenyataannya saat ini, jutru bukan untuk tumbang dan kemudian hilang, yang terjadi adalah tumbang untuk berkembang biak, otoriter hari ke hari beranak-pinak. Munculnya raja-raja kecil dari wilayah depan barat Indonesia hingga ke wilayah depan timur Indonesia. Sehingga dalam melihat masalah yang dihadapi Indonesia tak ada lagi ujungnya, korupsi tak berujung, pemimpin lemah tak berujung, demokrasi tak berujung, Pancasila terus-menerus dijunjung seakan lumpuh tak berdaya guna.
Sebut saja, bicara bisnis Jakarta adalah bicara yang mengarah pada untung dan rugi, utang atau aset, personal atau kelompok, pemerintah atau swasta, dalam negeri atau luar negeri. Bisnis telah membonsai kekuasaan, berbagai kontrak dan transaksi bisnis ditemukan dalam semesta politik Indonesia. Homo sapien menjadi homo homini lupus. Penguasa-penguasa lebih cerdik dari Serigala, lebih lincah dari ular, lebih dingin dari gunung es. Semua pilar ini telah menyatu dan menguasai jalannya negara.
Melihat bisnis Jakarta di permukaan memang membuat kita merasa ada kemajuan untuk Indonesia, ada harapan rakyat yang diperjuangkan kepemimpinan birokrasi di sana, namun pada akhirnya saat kita tengok jauh ke dalam, ada banyak korban yang disengajakan di sana, ada proses penghambaan selain Tuhan di dalamnya, ada praktik jual diri lebih baik dari kupu-kupu malam demi martabat di hadapan publik di sana.
Saat kita terus berusaha untuk mengintip, bahkan menyelami samudera bisnis Jakarta, kita akan menemukan betapa unik dan konyolnya peran dan lakon para yang katanya ingin memimpin negara dan bangsa. Sudut pandang bisnis Jakarta secara tidak lansung mengajak kita untuk merenungkan terkait pertanyaan di mana simpul perjuangan dan pengkhianatan? Di mana simpul kerakyatan dengan kezaliman? Dimana simpul kebebasan dan pembungkaman? Di mana simpul kekayaan dan kemiskinan? Dimana simpul kemerdekaan dan perbudakan? Dimana simpul persatuan dan persengkokolan? Dimana simpul kesejahteraan dan keserakahan? Semua jawaban itu mesti kita temukan dalam misteri keberengsekan Jakarta.
Posting Komentar